Sabtu, 21 Desember 2013

tafsir dan ta'wil

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya yang begitu berlimpah kepada penyaji sehinggah Makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya dengan judul TAFSIR dan TA’WIL. Makalah ini dapat memberikan informasi serta wawasan lebih kepada kita semua tentang penjelasan dan macam-macam tasfir dan ta’wil serta contoh pengunaan keduanya dalam penafsiran. Sehingga kita dapat memahami keduanya dengan baik dan benar. Saya menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan makalah selanjutnya.
Akhir kata, saya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan Makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhahi segala usaha kami. Amin.

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
        Al-Quran Al-Karim adalah sumber hukum pertama bagi umat Muhammad. Kemampuan manusia memahami makna al-Qur’an tentulah berbeda-beda. Hal ini tidak dipermasalahkan namun terkadang menimbulkan banyak masalah yang spesifik. Untuk kalangan masyarakat awam hal memaknai al-Qur’an terkadang diabaikan namun untuk kalangan para Ulama’ dan para siswa/mahasiswa yang terpelajar akan dapat memahami dan menyingkap makna-maknya al-Qur’an dengan menarik. Dengan demikian al-Quran mendapatkan perhatian besar untuk meafsirkan kata-kata yang gharib.
         Tafsir dan Ta’wil sendiri merupakan suatu penjelasan dan pendapat yang banyak  dipaparkan beberapa ulama’ yang menerangkan makna-makna al-Qur’an dan mengembalikan sesuatu kepada tujuan utama dan apa yang dimaksud. Dengan banyak pendapat dari beberapa ulama’ kita juga dapat memahami lebih jauh tentang Tafsir. Definisi Tafsir dan Tawil kita juga tidak terlepas dari banyaknya macam keduanya.
        Selain memahami Tafsir dan Ta’wil kita dapat membenakan keduanya dengan seksama dan bisa menerapkan dan mengamalkan ilmu kita terhadap sesama.


B.     RUMUSAN MASALAH
        Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan tentu dapat terlihat banyak hal yang perlu dibenahi lagi. Sehingga dapat disimpulkan menjadi rumusan masalah yaitu :
1.      Apa yang dimaksud Tafsir dan Ta’wil?
2.      Apa saja perbedaan Tafsir dan Ta’wil?
3.      Macam-macam makna Ta’wil?
4.      Contoh pengunaan Tafsir dan Ta’wil dalam penafsiran?
5.      Apa saja tafsir yang gharib?

C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui apa itu tafsir dan ta’wil.
2.      Untuk mengetahui perbedaan tafsir dan ta’wil.
3.      Untuk mengetahui apa saja makna tafsir dan ta’wil.
4.      Untuk mengetahui pengunaan tafsir dan ta’wil dengan benar.
5.      Untuk mengetahui bagaimana tafsir dan ta’wil yang gharib.



BAB II
PEMBAHASAN


A. TAFSIR
     Pengertian Tafsir
          Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’îl”, berawalkan dari akar kata al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakan atau menerangkan makna-makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “daraba – yadribu” dan “nasara – yansuru”. Dikatakan: “fasara (asy-syai’a) yafsiru” dan “yafsuru, fasran”, dan fassaruhu”, artinya “abânahu” (menjelaskannya). Kata at-tafsîr dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup.[1] Dalam Lisanul ‘Arab didefinisikan dari kata “al-fasr” berati menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan kata “at-tahsir” berarti menyingkapkan maksud suatu lafazh yang musykil. Dalam Al-Qur’an dinyatakan:
وَلَايَٲْتُونَكَ بِمَثَلٍ ٳِلَّاَ جِٸْنَٰكَ بِٱلْحَقِّ وَٲَحْسَنَ تَفْسِيرًا۝ [الفرقان:٣٣]
                 “Tidaklah mereka datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil, melaikan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik tafsir-nya.” (Al-Furqan: 33). Yaitu penjelasan dan perinciannya.[2]
                 Sedangkan Menurut istilah banyak ulama’ yang berpendapat sebagai berikut:
1.      Abu Hayyan mendefinisikan tafsir sebagai, “Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh Al-Quran, indikator-indikatornya, masalah hukum-hukumnya baik yang independen maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta tentang makna-maknanya yang berkaitan dengan kondisi struktur lafazh yang melengkapinya.[3]
2.      Menurut al-Jurjani, tafsir adalah menjelaskan makna ayat keaaannya, kisahnya, dan sebab yang karenanya ayat  diturunkan, dengan lafat yang menunjukkan kepadanya dengan jelas sekali.
3.      Menurut az-Zarkazyi, ialah suatu  pengetahuan yang dengan pengetahuan itu dapat dipahamkan kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW menjelaskan maksud-maksudnya mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmahnya.
4.      Menurut al-Kilbyi ialah mensyarahkan al-qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya ataupun dengan najwahnya.
5.      Menurut Syeikh Thorir, ialah mensyarahkan lafad yang sukar difahamkan oleh pendengan dengan uraian yang menjelaskan maksud dengan menyebut muradhifnya atau yang mendekatinya atau ia mempunyai petunjuk kepadanya melaui suatu jalan (petunjuk). (Masyhuri: 86)
6.      Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih,[4] Tafsir adalah menjelaskan makna-makna al-Qur’an.
7.      Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy[5] yang dimaksud tafsir adalah tafsir menurut bahasa adalah menerangkan dan menyatakan. Sedangkan menurut istilah adalah:

شَرْحُ الْقُرْٱن وَبَيَانُ مَعْنَاهُ وَالإِڡْصَاحُ بمَايَڡتَضِيْهِ بنَصِّهِ اَوْإِشَارَتِهِ اَوْنَحْوَاهُ.

“Menjelaskan al-Quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan mash al-Qur’an.”
8.      Menurut Ali As-Shobuni dalam At-Tibyan menurutnya Tafsir adalah ilmu yang dengan ilmu itu dapat memahami kitab Allah (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, menjelaskan makna-makna al-Qur’an serta menggali hukum di dalam al-Qur’an.[6]
B. TA’WIL
     Pengertian Ta’wil
          Ta’wil secara bahasa berasal dari kata “a-u-l,” yang berarti kembali ke asal. Dikatakan “آلَ إِلَيْهِ أَوْلاًوَمَآلاًartinya, kembali kepadanya. “ٲَوَّلَ الْكَلاَ مَ تَأْوِيْلاً”  artinya, memikirkan, memperkitakan dan menafsirkannya.[7] Atas dasar ini maka tawil al-kalam (penakwilanterhadap suatu kalimat) dalam istilah mempunyai dua makna :
          Pertama, ta’wil kalam dengan pengertian, suatu makna yang menjadi tempat kembalinya perkataan pembicara, atau sesuatu makna yang kepadanya suatu kalam dikembalikan. Dan kalam itu sendiri biasanya merujuk kepada makna aslinya yang merupakan esensi sebenarnya yang dimaksud. Kalam ada dua macam, insya’ dan ikhbâr. Salah satu yang termasuk insya’ adalah amr (kalimat perintah).
Maka ta’wilul amr maksudnya perbuatan yang diperintahkan. Misalnya hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Rahiyallahu Anha, ia berkata, “Adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam, membaca di dalam ruku’ dan sujudnya Subhanallahu wa bi hamdikka allahummaghfirli. Beliau menta’wilkan (menjalankan perintah) Al-Qur’an”. Maksudnya ayat, “Maka bertasbihlah dengan memuji dan memohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dian Maha Penerima taubat.” (An-Nashr: 3)
Sedangkan ta’wil al-ikhbar ialah esensi dari apa yang diperintahkan itu sendiri dan yang benar-benar terjadi. Misalnya firman Allah berikut ini:

وَلَقَدْجِئْنَٰهُم بِكِتٰبٍ فَصَّلْنَٰهُ عَلَىٰ عِلْمٍ هُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُوْنَ۞هَلْ يَنْظُرُونَ إِلاَّ تَأْوِيْلَهُ ۚ يَوْم يَأْتِى تِأْوِيْلُهُ٫يَقُولُ ٱلَّذِيْنَ نَسُوْهُ مِنْ قَبْلُ قَدْجَآءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِٱلْحَقِّ فَهَلْ لَّنَا مِن   شُفَعَٓاءَفَيَشْفَعُوْالَنَٓاأَوْنُرَدُّ فَنَعْمَلَ غَيْرَٱلَّذِى كُنَّا نَعْمَلُۚ۞(الأعراف:۵۲-۵۳)                   
“Dan sesungguh Kami telah mendatangkan Kitab (Al-Quran) kepadan mereka yang telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali ta’wilnya. Pada hari ta’wil-itu datang, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu: ‘Sungguh telah datang rasul-rasul Tuhan kami membawa yang hak, maka adakah bagi kami pemberi syafaat yang akan membetikan syafa’at kepada kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan?” (Al-A’raf: 52-53).
          Dalam ayat ini Allah telah menceritakan bahwa Dia telah menjelaskan Al-Qur’an secara detail, dan merekan tidak menunggu-nunggu kecuali ta’wilnya yaitu datangnya apa yang diberitakan AL-Qur’an bahwa itu akan terjadi, seperti hari kiamat dan tanda-tandanya serta segala apa yang ada di akhirat berupa buku catatan amal (suhuf), neraca amal (mizan), surga, neraka dan lain sebagainya. Maka pada saat itulah mereka mengtakan: “Sungguh telah datang rasul-rasul Tuhan kami membawa yang hak, maka adakah bagi kami pemberi syafaat yang akan membetikan syafa’at kepada kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan?”
          Kedua, ta’wil al-kalam atau ta’wilul kalam dalam arti Menafsirkan dan Menjelaskan maknanya.
Pengertian inilah yang dimaksudkan Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya dengan kata-kata: “Pendapat tentang ta’wil terhadap firman Allah ini...begini dan begitu..” dan kata-kata: “Ahli ta’wil berbeda pendapat tentang ini.” Maka yang dimaksudkan ta’wil disini adalah tafsir.
          Ulama Salaf mendefinisikan takwil sebagai berikut:
1.    Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa
“Sesungguhnya takwil itu dalah ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafazh zahir.”
2.    Kaum muhadditsin mendefinisikan takwil, sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh, yaitu:
3.    Menurut Wahab Khalaf  takwil yaitu “memalingkan lafazh dari zahirnya, karena adanya dalil.”
4.    Menurut Abu Zahra takwil adalah “mengeluarkan lafazh dari artinya yang zahir kepada makna  yang lain, tetapi bukan zahirnya.”

Macam-macam ta’wil
1.  Ta’wil yang jauh dari pemahaman, yakni ta’wil yang dalam penetapannya tidak mempunyai dalil yang terendah sekalipun.
2.  Ta’wil yang mempunyai relevasi, paling tidak memenuhi standar makna terendah serta diduga sebagai makna yang benar.

C.    CONTOH PENGGUNAAN TAFSIR DAN TA’WIL DALAM PENAFSIRAN
Berikut adalah contoh-contohnya:
Menafsirkan Al-Qur’an dengan As-Sunnah/Hadits
Contoh Surat Al-An’am ayat 82:
الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون
 “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan dan mereka orang-orang yang mendapat petunjuk”
Kata “al-zulm” dalam ayat tersebut, dijelaskan oleh Rasul Allah saw dengan pengertian “al-syirk” (kemusyrikan).




Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat para sahabat
Contoh surat an-Nisa’ ayat 2
Mengenai penafsiran sahabat terhadap Alquran ialah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Halim dengan Sanad yang saheh dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menerangkan ayat ini:
وآتوا اليتامى أموالهم ولا تتبدلوا الخبيث بالطيب ولا تأكلوا أموالهم إلى أموالكم إنه كان حوبا كبيرا
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.”
Kata hubb” ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dengan dosa besar
Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat para Tabi’in:
Contoh Surat Al-Fatihah:
Penafsiran Mujahid bin Jabbar tentang ayat: Shiraat al-Mustaqim yaitu kebenaran.
 Contoh bukunya:
1)    Jami al-bayan fi tafsir Al.Qur’an, Muhammad B. Jarir al. Thabari, W. 310 H. terkenal dengan tafsir Thabari
2)    Bahr al-Ulum, Nasr b. Muhammad al- Samarqandi, w. 373 H. terkenal dengan tafsir al- Samarqandi.
3)    Ma’alim al-Tanzil, karya Al-Husayn bin Mas’ud al Baghawi, wafat tahun 510, terkenal dengan tafsir al Baghawi.

Tafsir Bir Ra’i
Yaitu penafsiran Al-Qur’an berdasarkan rasionalitas pikiran (ar-ra’yu), dan pengetahuan empiris (ad-dirayah). Tafsir jenis ini mengandalkan kemampuan “ijtihad” seorang mufassir, dan tidak berdasarkan pada kehadiran riwayat-riwayat (ar-riwayat). Disamping aspek itu mufassir dituntuk untuk memiliki kemampuan tata bahasa, retorika, etimologi, konsep yurisprudensi, dan pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan wahyu dan aspek-aspek lainnya menjadi pertimbangan para mufassir.
Contoh surat al-Alaq: 2
“Khalaqal insaana min ‘alaq
Kata alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz alaqah yang berarti segumpal DARAHyang kental
a)   Tafsir Terpuji (Mahmud)
Suatu penafsiran yang cocok dengan tujuan syar’i, jauh dari kesalahan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, serta berpegang teguh pada ushlub-ushlubnya dalam memahami nash Al-Qur’an.
b)  Tafsir Al-Bathil Al-Madzmum
Suatu penafsiran berdasarkan hawa nafsu, yang berdiri di atas kebodohan dan kesesatan. Manakala seseorang tidak faham dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, serta tujuan syara’, maka ia akan jatuh dalam kesesatan, dan pendapatnya tidak bisa dijadikan acuan.
Contoh bukunya:
1)    Mafatih al-Ghayb, Karya Muhammad bin Umar bin al-Husain al Razy, wafat tahun 606, terkenal dengan tafsir al Razy.
2)    Anwar al-Tanzil wa asrar al-Ta’wil, Karya ‘Abd Allah bin Umar al-Baydhawi, wafat pada tahun 685, terkenal dengan tafsir al-Baydhawi.
3)    Aal-Siraj al-Munir, Karya Muhammad al-Sharbini al Khatib, wafat tahun 977, terkenal dengan tafsir al Khatib.
Tafsir Bil Isyari
Suatu penafsiran diamana menta`wilkan ayat tidak menurut zahirnya namun disertai usaha menggabungkan antara yang zahir dan yang tersembunyi.”
Contoh Surat Al-Baqoroh: 67
“...Innallaha ya`murukum an tadzbahuu baqarah…”
Yang mempunyai makna ZHAHIR adalah “……Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina…”  Tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan “….Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah…”
Contoh dalam kisah Nabi Khidir dan Musa:
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”
Penjelasan: Allah telah menganugerahkan ilmu-Nya kepada Khidhir tanpa melalui proses belajar sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang biasa. Ia memperoleh ilmu karena ketaatan dan kesalihannya. Ia jauh dari maksiat dan dosa. Ia senantiasa mendekatkan diri kepada Allah. Dalam kesuciannya, Khidhir diberikan ilmu dari sisi-Nya yang dinamakan ilmu ladunni menggunakan pendekatan qalbi (hati) atau rasa.
Contoh bukunya:
1)    Tafsir al-Qur’an al Karim, Karya Sahl bin ‘Abd. Allah al-Tastari, terkenal dengn tafsir al-Tastari.
2)    Haqa’iq al-Tafsir, Karya Abu Abd. Al-Rahman al- Salmi, terkenal dengan Tafsir al-Salmi.
3)    Tafsir Ibn ‘Arabi, Karya Muhyi al-Din bin ‘Arabi, terkenal dengan nama tafsir Ibn ‘Arabi.

Contoh Surat al Fajr : 89
“Bahwasanya rabb mu sungguh memperhatikan kamu”
TafsirnyaBahwasanya allah senantiasa dalam mengintai-intai memperhatika keadaan hambanya”
Ta’wil:Menakutka manusia dari berlalai-lalai, dari lengah mempersiapkan persiapan yang perlu.



D.    CARA MENTAFSIRKAN AYAT-AYAT YANG GHORIB
       Permasalahan ini menjadi persoalan yang sangat rumit, khususnya setelah Nabi SAW.wafat, sebab saat beliau masih hidup semua permasalahan yang timbul langsung ditanyakan kepadanya. Tentu tidak semua persoalan sosial dan kemasyarakatan serta keagamaan muncul saat beliau masih hidup karena umur beliau relatif singkat, sementara pesoalan kemasyarakatan tersebut berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri.
Namun Rasulullah sebelum wafat telah meninggalkan dua pusaka yang sangat ampuh dan mujarab serta berharga, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul. Nabi menjamin barang siapa yang berpedoman kepada keduanya niscaya dia tidak akan sesat selama-lamanya.
تـَرَكـْتُ فِـيْكُـمْ شَـيْـئَـيْـنِ لَنْ تـَضِـلُّـوْا بـَعْـدَهُـمَا كِـتـَابَ اللهِ وَ سُـنَّـتِى (رواه الحكم)
“Aku meninggalkan dua perkara pada diri kalian yang kalian tidak akan tersesat setelahnya yaitu Kitab Allah dan Sunnahku”.
Hadits ini dikuatkan oleh firman Allah yang tertera pada surat al Nisa’ ayat 59
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu.Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah persoalan tersebut kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Secara teoritis kembali kepada al qur’an dan hadits boleh dikatakan tidak ada masalah, tetapi problema muncul lagi dan terasa  memberatkan pikiran ketika teori itu diterapkan untuk memecahkan berbagai kasus yang terjadi di masyarakat. Oleh karena hal itu cara yang digunakan oleh ulama’ dalam memahami gharib al qur’an, – dan ini disebut juga “Ahsana al Thuruq”oleh  sebagai ulama – adalah sebagi berikut :
1.    Menafsirkan al qur’an dengan al qur’an
Contoh Surat al An’am ayat 82
Kata ظلم dalam ayat tersebut jika diartikan secara tekstual maka terasa membawa pemahaman yang asing dan tidak cocok dengan kenyataan sebab hampir tidak ditemukan orang-orang yang beriman yang tidak pernah melakukan perbuatan dzalim sama sekali. Jika begitu maka tidak ada orang mukmin yang hidupnya tentram dan tidak akan mendapat petunjuk.
Oleh karena itu sahabat bertanya kepada Rasulullah, lalu Rasul menafsirkan kata dzulm dengan syirkberdasarkan pada surat Luqman ayat 13 “Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
Dari penjelasan Nabi diatas dapat diketahui bahwa kata dzulm dalam surat al An’am berarti syirk bukan ke-dzaliman biasa, dengan penjelasan itu selesailah persoalannya. Dan berdasarkan penjelasan Nabi itulah maka surat al An’am ayat 82 diterjemahkan sebagai berikut “orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kedzaliman (syirik) mereka itulah yang mendapatkan keamanan dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Menafsirkan al qur’an dengan sunnah rasul.
As Sunnah adalah penjelas dari al qur’an, dimana al qur’an telah menjelaskan bahwa semua hukum (ketetapan) Rasulullah berasal dari Allah. Oleh karena itu Rasulullah bersabda 
 “Ketahuilah bahwa telah diberikan kepadaku Qur’an dan bersamanya pula sesuatu yang serupa dengannya” yaitu sunnah
2.      Jika tidak ditemukan di dalam hadits maka dicari dalam atsar (pendapat) shahabat
Pendapat para sahabat lebih akurat dari pada lainnya dikarenakan mereka telah berkumpul dengan Rasulullah dan mereka telah meminum air pertolongan beliau yang bersih. Mereka menyaksikan wahyu dan turunnya, mereka tahu asbabun nuzul dari sebuah ayat maupun surat dari al qur’an, mereka mempunyai kesucian jiwa, keselamatan fitrah dan keunggulan dalam hal memahami secara benar dan selamat terhadap kalam Allah SWT. bahkan menjadikan mereka mampu menemukan rahasia-rahasia al qur’an lebih banyak dibanding siapapun orangnya.
3. Jika masih belum didapati pemecahannya maka  sebagian ulama memeriksa pendapat tabi’in. diantara tabi’un ada yang menerima seluruh penafsiran dari sahabat, namun tidak jarang mereka juga berbicara tentang tafsir ini dengan istinbat (penyimpulan) dan Istidlal (penalaran dalil) sendiri. Tetapi yang harus menjadi pegangan dalam hal ini adalah penukilan yang shohih
4. Melalui sya’ir
Walaupun sebagian besar ulama nahwu mengingkari cara yang kelima ini dalam menafsirkan ayat yanggharib namun cobalah kita melepaskan diri dari perbedaan itu dan melihat penjelasan dari Abu Bakar Ibnu Anbari yang berkata “telah banyak riwayat yang menyebutkan bahwa sahabat dan tabi’in berhujjah dengan sya’ir-syair dengan kata-kata yang asing bagi al qur’an dan yang musykil (yang sulit)”.
Syai-syair itu bukanlah dijadikan sebagi dasar al qur’an untuk berhujjah melainkan dijadikan sebagai penjelas dari huruf-huruf asing yang ada di al qur’an, karena Allah berfirman dalam surat az Zukhruf ayat 3 “Sesungguhnya Kami menjadikan al qur’an dalam bahasa arab”.
Syair-syair itu sebagai perbendaharaan bangsa arab. Jika salah satu huruf  dalam al qur’an tidak diketahui dalam bahsa arab maka dikembalikan pada perbendaharaan mereka (bangsa arab), dan dicari maknanya.
Ibnu Abbas berkata “ jika kalian bertanya kepadaku tentang sebuah kata asing di dalam al qur’an maka carilah maknanya pada syair-syair. Sesungguhnya syair-syair itu adalah perbendaharaan bangsa arab”.
Contoh ; ketika Ibnu Abbas sedang duduk-duduk di halaman ka’bah, dia dikelilingi oleh sekelompok kaum  dan bertanya kepadanya tentang penafsiran beberapa ayat, diantaranya mereka bertanya tentang tafsir ayat وابتغو اليه الوسيلة yang ada pada surat al Maidah ayat 35. Kata الوسيلة diartikan oleh Ibnu Abbas dengan “kebutuhan” , kemudian dia mengambil dasar dari syair yang dikatakan oleh Antarah yang berbunyi
ان الرجال لهم اليك وسيلة        ان يأخذوك تكحاي و تخضبي
Sesungguhnya para laki-laki itu membutuhkanmu
Jika mereka hendak mengambilmu
Maka pakailah celak dan semir   





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
1.      Tafsir dan Ta’wil sendiri merupakan suatu penjelasan dan pendapat yang banyak  dipaparkan beberapa ulama’ yang menerangkan makna-makna al-Qur’an dan mengembalikan sesuatu kepada tujuan utama dan apa yang dimaksud. Dengan banyak pendapat dari beberapa ulama’ kita juga dapat memahami lebih jauh tentang Tafsir. Definisi Tafsir dan Tawil kita juga tidak terlepas dari banyaknya macam keduanya.
2.      Contoh-contoh tentang menfsirkan ta’wil dan tafsir dapat membantu mengurangi ketidak tahuan kita tentang memahami tafsir.
3.      Secara teoritis kembali kepada al qur’an dan hadits boleh dikatakan tidak ada masalah, tetapi problema muncul lagi dan terasa  memberatkan pikiran ketika teori itu diterapkan untuk memecahkan berbagai kasus yang terjadi di masyarakat. Oleh karena hal itu cara yang digunakan oleh ulama’ dalam memahami gharib al qur’an, – dan ini disebut juga “Ahsana al Thuruq”oleh  sebagai ulama – adalah sebagi berikut :
a.       Menafsirkan al qur’an dengan al qur’an.
b.      Jika tidak ditemukan di dalam hadits maka dicari dalam atsar (pendapat) shahabat.
c.       Jika masih belum didapati pemecahannya maka  sebagian ulama memeriksa pendapat tabi’in.
d.      Melalui sya’ir

Saran :



DAFTAR PUSTAKA

putri(2013).Tafsir dan Ta'wil.from http://puiteripitrisebuahcatatan.blogspot.com/2013/01/tafsir-dan-tawil.html,28 oktober 2013
syaikh manna’ al-qaththan.(2013). Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Manna’ Khalil al-Qattan. (2012). Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera antarnusa.

Syaikh Muhammad bin Shalih(2008). Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: Darus Sunnah Press.
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy(2000). Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Muhammad Ali As-Shobuni(2003).  At-Tibyan fi ‘Ulumil Qur’an. Jakarta: Dar Al-Islamiyah.




[1] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera antarnusa,2012),455
[2] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2013),408.
[3] Ibid, 409.
[4] Syaikh Muhammad bin Shalih, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Darus Sunnah Press,2008),57
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), 170
[6]Muhammad Ali As-Shobuni, At-Tibyan fi ‘Ulumil Qur’an, (Jakarta: Dar Al-Islamiyah,2003), 65
[7] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an,  457


Tidak ada komentar:

Posting Komentar